Minggu, 15 Desember 2013

Pujilah Allah Dalam Bait-Nya



Bersyukurlah kepadaNya dan pujilah namaNya!

Sebab Tuhan itu baik,

Kasih setiaNya untuk selama-lamaNya

Dan kesetianNya tetap turun temurun.

(Mazmur 100: 4b-5)



Versi Tawarikh-nya mengatakan:

Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia Baik!

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya
(1 Tawarikh 16:34)

Allah itu setia, bohong, saya kesulitan mendapatkan pekerjaan yang bermutu. KesetiaanNya tetap turun temurun, bohong, banyak teman saya pindah agama karena  perkawinan atau karier. Allah itu baik, ‘ngelilir’ kata orang Jawa, ‘ngelilir’ itu artinya: berbicara ketika tertidur atau mengigau.

Puja di atas sangat popular di antara para penganut agama Yahudi. Semoga ini salah: mungkin karena orang  Indonesia dan Yahudi berbeda dunia seperti alam fana dan akhirat, apa yang popular dan baik lagi merakyat di kalangan orang Yahudi seperti tak bergaung di masyarakat Indonesia, lagi pula untuk apa?! Konyol.

Sepengamatan saya masyarakat Indonesia cenderung realis. ‘Cah kuwi dino-dinone ngopo wae?’…. ‘Wis tontonen dhewe kono’… ‘Anak itu sehari-harinya ngapain saja? Apa yang dilakukannya?’…’Silahkan Bapak lihat sendiri’…. ‘Berapa lama Anda menempuh perjalanan rumah kantor tiap harinya?’…. ‘ Dua jam, pulang pergi empat jam’…’Itu tidak efisien.’….’Wah Pak, kalo di sini mikir efisien, bisa nggak jalan-jalan, anak istri bisa kagak makan.’ Begitulah penggambaran orang Indonesia.


Bagaimana dengan orang Yahudi? Yesus, Paulus, Para Rasul seperti terserap oleh Taurat Musa. Sedang para Nabi Perjanjian Lama seperti terpukau oleh keberadaan Yahweh. Tampaklah mereka bangsa yang idealis. Bukankah orang Jawa memiliki Suluk? Ya, tetapi tampaknya yang terjadi berkebalikan, Suluk adalah cermin orang Jawa. Maka tak heran, dalam Suluk macam Centhini atau cerita-cerita wayang sering kita tak menjumpai yang disebut tokoh baik atau pun tokoh jahat.

Jawa, Indonesia, yang realis bahkan cenderung pragmatis, disandingkan dengan orang Yahudi  yang  idealis, rasanya seperti  tak memiliki kaitan apapun. Pantas saja Mazmur 100: 4b – 5 nyaris tak bergaung di masyarakat Jawa-Indonesia-Kristen atau masyarakat Indonesia-Kristen.

Mengapa teks itu harus disebarkan atau mengapa ribut dengan teks itu? Sudah terlalu banyak teks doa untuk masyarakat Indonesia-Kristen. Entahlah, saya menyukai teks itu begitu saja. Jawa-Katholik sering menyanyikannya dalam lagu-lagu antar bacaan atau pengantar Injil, tapi kelihatannya tak perduli apapun dengan teks itu. Mereka seperti menyanyi tanpa membaca syair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar