Jika aku melihat
langitMu, buatan jarimu
Bulan dan bitang-bintang yang kau tempatkan:
Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Apakah anak manusia, sehingga Engkau
mengindahkannya?
Apakah yang pertama kali terlintas bila kita
membaca nukilan Mazmur 8 tersebut, nukilan ini persisnya Mazmur 8: 4 – 5. Suatu
keindahan, pujian, kemegahan, bahkan kedahsyatan. Tapi bila kita mau memberi
konteks pada masa kini, serentak kita akan tersenyum. Apakah manusia masa kini
masih mampu melahirkan ungkapan sedahsyat itu?
Orang saat ini sudah sedemikian sibuk, sudah
tidak sempat melihat langit di waktu malam. Sewaktu saya masih di bangku SLTA,
di sebuah SLTA swasta di Jakarta Selatan, saya suka mendaki gunung dan
tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah. Tidak banyak yang saya ingat
dari pengalaman mendaki gunung kala itu. Yang saya ingat hanya dingin dan
lelah, hanya itu berkait dengan Mazmur 8 : 4-5 tersebut; dari kaki gunung yang
saya lewati langit memang terasa lebih pendek. Tetapi apakah ketika melihat
langit yang seolah memendek itu, saya lalu melahirkan Mazmur? Seingat saya
semua berlalu begitu saja hingga saya berusia 37 tahun ini.
Penulis Mazmur itu, taruhlah dia Raja Daud,
hampir dipastikan tak pernah berada di ketinggian lebih dari 1500 meter di atas
permukaan laut, sedang saya sudah 2 – 3 kali mengalaminya, tapi pe-Mazmur mampu
melahirkan Mazmur yang dahsyat, sedang saya lanjut tidur. Mungkin Anda tidak
tidur, tetapi pada kenyataannya, dalam khazanah kesusastraan saya yang
terbatas, saya tidak menemukan syair seperti Mazmur 8: 4-5 tersebut, yang saya
maksud kualitasnya, syair ini menggabungkan keterpesonaan akan kedahsyatan
alam, sekaligus iman akan keberadaan Pencipta Alam itu. Syair-syair pemujaan
terhadap alam yang timbul setelah masa Renaissance, sudah secara tak sadar
memuja alam an sich, meski para penulis itu mayoritas ya beragama Kristen atau
Yahudi; tetapi pengaruh Renaissance
sudah sangat merasuk ke jiwa mereka, sehingga keberadaan Pencipta Alam sudah
tak terdeteksi lagi dalam syair-syair mereka.
Lalu apa sebab pe-Mazmur mampu melahirkan karya
sedahsyat itu? Saya yakin hanya satu jawabnya: berhenti sejenak, Pe-Mazmur mau
berhenti sejenak. Para penyair paska
Renaissance itu, bukankah mereka juga berhenti sejenak dan membuat syair? Ya,
entahlah, tapi saya yakin hanya iitu jawabannya: mau berhenti sejenak.
Gilasan roda kapitalisme, dan tantangan ilmu
pengetahuan modern sungguh mengerikan, kalau Anda tidak berhenti sejenak, Anda
akan diamkan oleh pasangan jantan-betina yang telah ada sejak tahun 1500-an
tersebut. Anda kan
dipaksa membeli smartphone yang berharga di atas dua juta rupiah, dan hanya
mempergunaknnya untuk bercakap-cakap dengan teman Anda, bagi saya itu sungguh
mengerikan.
Berhentilah sejenak, mungkin dengan sejenak
berdoa, sejenak ebrbincang dengan anak-istri Anda di luar masalah formil,
menyapa teman kantor atau teman lama Anda, saya percaya kualitas doa dan pujian
Anda akan membaik. “Kerajaan Tuhan di antara kamu”, artinya Anda harus ikut
serta mengusahakannya. (SHP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar