Rabu, 11 Desember 2013

Berhenti Sejenak






Jika aku melihat langitMu, buatan jarimu
Bulan dan bitang-bintang yang kau tempatkan:
Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

 
Apakah yang pertama kali terlintas bila kita membaca nukilan Mazmur 8 tersebut, nukilan ini persisnya Mazmur 8: 4 – 5. Suatu keindahan, pujian, kemegahan, bahkan kedahsyatan. Tapi bila kita mau memberi konteks pada masa kini, serentak kita akan tersenyum. Apakah manusia masa kini masih mampu melahirkan ungkapan sedahsyat itu?


Orang saat ini sudah sedemikian sibuk, sudah tidak sempat melihat langit di waktu malam. Sewaktu saya masih di bangku SLTA, di sebuah SLTA swasta di Jakarta Selatan, saya suka mendaki gunung dan tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah. Tidak banyak yang saya ingat dari pengalaman mendaki gunung kala itu. Yang saya ingat hanya dingin dan lelah, hanya itu berkait dengan Mazmur 8 : 4-5 tersebut; dari kaki gunung yang saya lewati langit memang terasa lebih pendek. Tetapi apakah ketika melihat langit yang seolah memendek itu, saya lalu melahirkan Mazmur? Seingat saya semua berlalu begitu saja hingga saya berusia 37 tahun ini.

Penulis Mazmur itu, taruhlah dia Raja Daud, hampir dipastikan tak pernah berada di ketinggian lebih dari 1500 meter di atas permukaan laut, sedang saya sudah 2 – 3 kali mengalaminya, tapi pe-Mazmur mampu melahirkan Mazmur yang dahsyat, sedang saya lanjut tidur. Mungkin Anda tidak tidur, tetapi pada kenyataannya, dalam khazanah kesusastraan saya yang terbatas, saya tidak menemukan syair seperti Mazmur 8: 4-5 tersebut, yang saya maksud kualitasnya, syair ini menggabungkan keterpesonaan akan kedahsyatan alam, sekaligus iman akan keberadaan Pencipta Alam itu. Syair-syair pemujaan terhadap alam yang timbul setelah masa Renaissance, sudah secara tak sadar memuja alam an sich, meski para penulis itu mayoritas ya beragama Kristen atau Yahudi; tetapi pengaruh  Renaissance sudah sangat merasuk ke jiwa mereka, sehingga keberadaan Pencipta Alam sudah tak terdeteksi lagi dalam syair-syair mereka.

Lalu apa sebab pe-Mazmur mampu melahirkan karya sedahsyat itu? Saya yakin hanya satu jawabnya: berhenti sejenak, Pe-Mazmur mau berhenti sejenak. Para penyair paska Renaissance itu, bukankah mereka juga berhenti sejenak dan membuat syair? Ya, entahlah, tapi saya yakin hanya iitu jawabannya: mau berhenti sejenak.

Gilasan roda kapitalisme, dan tantangan ilmu pengetahuan modern sungguh mengerikan, kalau Anda tidak berhenti sejenak, Anda akan diamkan oleh pasangan jantan-betina yang telah ada sejak tahun 1500-an tersebut. Anda kan dipaksa membeli smartphone yang berharga di atas dua juta rupiah, dan hanya mempergunaknnya untuk bercakap-cakap dengan teman Anda, bagi saya itu sungguh mengerikan.

Berhentilah sejenak, mungkin dengan sejenak berdoa, sejenak ebrbincang dengan anak-istri Anda di luar masalah formil, menyapa teman kantor atau teman lama Anda, saya percaya kualitas doa dan pujian Anda akan membaik. “Kerajaan Tuhan di antara kamu”, artinya Anda harus ikut serta mengusahakannya. (SHP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar