Sabtu, 21 Desember 2013

Menjadi Orang Baik, Suatu Utopia?



Kita kembali ke Mazmur 1: 1-6, tampak jelas ada pemisahan: orang fasik dan orang yang menyukai Taurat, orang baik katakanlah. Tetapi satu pertanyaan, apakah orang baik itu ada, apakah menjadi orang baik itu mungkin? Dalam Perjanjian Baru kelak akan tersingkap bahwa orang-orang baiklah yang menyalibkan Yesus Kristus. Baru-baru ini bahkan Paus Fransiscus sudah mengalamatkan, bahwa para koruptor yang mendonasikan sebagian hasil korupsinya kepada Gereja tidaklah mengurangi dosa sang koruptor, dan bila koruptor itu tertangkap Gereja tidak akan melakukan pembelaan terhadapnya.

Maka tampaklah baik dan buruk sebenarnya dalam kehidupan nyata sangat relatif. Ambil contoh lagi dalam bidang korupsi.  Sumpah mati jika Anda ingin membuka suatu usaha, entah pabrik, toko, restoran, hotel atau apapun, jika Anda tidak berusaha memberikan “gratifikasi” kepada pihak – pihak tertentu, usaha Anda tidak akan pernah berjalan. Anda pejabat daerah? Maka Anda pasti merasakan kalau tidak memberikan “gratifikasi” kepada mereka yang berkantor di Senayan anggaran untuk daerah Anda tidak akan turun, rakyat Anda nanti terlantar. (Lihat kasus Wa Ode Nurhayati)

Maka pemisahan jalan baik (Taurat) atau buruk (Fasik) menjadi tak berlaku lagi. Tuntutannya adalah jalan orang fasik atau Anda mati. Kalau hanya Anda yang mati mungkin masih enak, tapi bagaimana kalau anak istri Anda, karena usaha Anda sulit berjalan, atau kalau Anda seorang kepala daerah, rakyat Anda terlantar?


Semua orang ingin menjadi orang baik, menjadi penyuka Taurat, tetapi dengan situasi yang saya kemukakan barusan rasanya tak mungkin. Lalu apakah menjadi orang baik hanyalah sekadar impian atau bahasa kerennya utopia? Jujur saja saya akan menjawab : YA!!! Habis mau bagaimana lagi? Franz Magnis Suseno pernah menulis tentang etika Stoa, suatu cabang etika yang berkembang di masa Romawi zaman Raja Marcus Aurelius, sekitar awal Masehi.

Kekaisaran Romawi itu sedikit demi sedikit sudah mulai diisi dengan intrik politik dan korupsi; sampai nanti akan berpuncak pada pembumihangusan Roma oleh Kaisar Nero, yang menurut para sejarawan adalah kaisar yang kejam, suatu pendapat yang semestinya dikaji ulang; hingga para orang saleh Roma mulai bertindak. Alim ulama Roma masa itu macam Seneca dan Marcus Aurelius sendiri, mulai berpikir tentang bagaimana mengakhiri korupsi di Roma. Alih – alih melahirkan solusi praktis, mereka malah melahirkan suatu etika yang akan berpengaruh bagi generasi – generasi sesudah mereka yang akan amat mempengaruhi kekristenan tidak peduli di bawah Augustinus atau Thomas Aquinas. Nyanyian etika itu pada intinya berbunyi begini : menjauhi semua kebatilan, bila kebatilan makin mendekat teruslah menjauh, bila tidak ada tempat lagi, hilangkan dirimu, supaya kebatilan tidak menguasaimu. Kata terakhir banyak diartikan sebagai bunuh diri, dan memang diantara mereka banyak yang melakukan bunuh diri, salah satunya dengan alasan tak ingin menghirup udara kebatilan. Konyol memang, tapi situasi Roma kala itu sudah sarat intrik dan korupsi. Kebatilan sudah sedemikian besar, hingga tak mungkin dilawan, satu – satunya cara adalah dengan tidak terlibat dalam kebatilan itu, itulah inti nyanyian Stoa. Marcus Aurelius memang bergelar Kaisar Roma, tetapi ia lebih mirip seorang prajurit dan imam, ia bukan politisi, maka itu banyak yang memanfaatkan kelemahannya. Di balik kebesarannya, Marcus Aurelius menyimpan kelemahan fatal, tak ada solusi praktis untuk mengakhiri kebatilan di Roma.

Dengan dua perbandingan di atas, maka makin jelas bahwa menjadi orang baik, penyuka Taurat adalah utopia dari zaman ke zaman, dari zaman Raja Daud, 500 tahun sebelum Masehi, zaman Roma di bawah Marcus Aurelius, awal Masehi, hingga kini, 2000 tahun setelah Masehi. Permasalahannya adalah hendak diapakan  utopia tersebut, dibuang  begitu saja ataukah dijadikan benda esoteric, yang mengawang di langit, yang melulu di pandang sebagai keindahan. Kalau saya menjadi penyuka taurat, seperti kata pemazmur, niscaya anak istri saya akan…. Ah, sudahlah! (SHP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar