Kita kembali ke Mazmur 1: 1-6, tampak jelas ada
pemisahan: orang fasik dan orang yang menyukai Taurat, orang baik katakanlah.
Tetapi satu pertanyaan, apakah orang baik itu ada, apakah menjadi orang baik
itu mungkin? Dalam Perjanjian Baru kelak akan tersingkap bahwa orang-orang
baiklah yang menyalibkan Yesus Kristus. Baru-baru ini bahkan Paus Fransiscus
sudah mengalamatkan, bahwa para koruptor yang mendonasikan sebagian hasil
korupsinya kepada Gereja tidaklah mengurangi dosa sang koruptor, dan bila
koruptor itu tertangkap Gereja tidak akan melakukan pembelaan terhadapnya.
Maka tampaklah baik dan buruk sebenarnya dalam
kehidupan nyata sangat relatif. Ambil contoh lagi dalam bidang korupsi. Sumpah mati jika Anda ingin membuka suatu
usaha, entah pabrik, toko, restoran, hotel atau apapun, jika Anda tidak
berusaha memberikan “gratifikasi” kepada pihak – pihak tertentu, usaha Anda
tidak akan pernah berjalan. Anda pejabat daerah? Maka Anda pasti merasakan
kalau tidak memberikan “gratifikasi” kepada mereka yang berkantor di Senayan
anggaran untuk daerah Anda tidak akan turun, rakyat Anda nanti terlantar.
(Lihat kasus Wa Ode Nurhayati)
Maka pemisahan jalan baik (Taurat) atau buruk
(Fasik) menjadi tak berlaku lagi. Tuntutannya adalah jalan orang fasik atau
Anda mati. Kalau hanya Anda yang mati mungkin masih enak, tapi bagaimana kalau
anak istri Anda, karena usaha Anda sulit berjalan, atau kalau Anda seorang
kepala daerah, rakyat Anda terlantar?
Semua orang ingin menjadi orang baik, menjadi
penyuka Taurat, tetapi dengan situasi yang saya kemukakan barusan rasanya tak
mungkin. Lalu apakah menjadi orang baik hanyalah sekadar impian atau bahasa
kerennya utopia? Jujur saja saya akan menjawab : YA!!! Habis mau bagaimana
lagi? Franz Magnis Suseno pernah menulis tentang etika Stoa, suatu cabang etika
yang berkembang di masa Romawi zaman Raja Marcus Aurelius, sekitar awal Masehi.
Kekaisaran Romawi itu sedikit demi sedikit sudah
mulai diisi dengan intrik politik dan korupsi; sampai nanti akan berpuncak pada
pembumihangusan Roma oleh Kaisar Nero, yang menurut para sejarawan adalah
kaisar yang kejam, suatu pendapat yang semestinya dikaji ulang; hingga para
orang saleh Roma mulai bertindak. Alim ulama
Roma masa itu macam Seneca dan Marcus Aurelius sendiri, mulai berpikir tentang
bagaimana mengakhiri korupsi di Roma. Alih – alih melahirkan solusi praktis,
mereka malah melahirkan suatu etika yang akan berpengaruh bagi generasi –
generasi sesudah mereka yang akan amat mempengaruhi kekristenan tidak peduli di
bawah Augustinus atau Thomas Aquinas. Nyanyian etika itu pada intinya berbunyi
begini : menjauhi semua kebatilan, bila kebatilan makin mendekat teruslah
menjauh, bila tidak ada tempat lagi, hilangkan dirimu, supaya kebatilan tidak
menguasaimu. Kata terakhir banyak diartikan sebagai bunuh diri, dan memang
diantara mereka banyak yang melakukan bunuh diri, salah satunya dengan alasan
tak ingin menghirup udara kebatilan. Konyol memang, tapi situasi Roma kala itu
sudah sarat intrik dan korupsi. Kebatilan sudah sedemikian besar, hingga tak
mungkin dilawan, satu – satunya cara adalah dengan tidak terlibat dalam
kebatilan itu, itulah inti nyanyian Stoa. Marcus Aurelius memang bergelar
Kaisar Roma, tetapi ia lebih mirip seorang prajurit dan imam, ia bukan politisi,
maka itu banyak yang memanfaatkan kelemahannya. Di balik kebesarannya, Marcus
Aurelius menyimpan kelemahan fatal, tak ada solusi praktis untuk mengakhiri
kebatilan di Roma.
Dengan dua perbandingan di atas, maka makin
jelas bahwa menjadi orang baik, penyuka Taurat adalah utopia dari zaman ke
zaman, dari zaman Raja Daud, 500 tahun sebelum Masehi, zaman Roma di bawah
Marcus Aurelius, awal Masehi, hingga kini, 2000 tahun setelah Masehi.
Permasalahannya adalah hendak diapakan utopia tersebut, dibuang begitu saja ataukah dijadikan benda esoteric,
yang mengawang di langit, yang melulu di pandang sebagai keindahan. Kalau saya
menjadi penyuka taurat, seperti kata pemazmur, niscaya anak istri saya akan….
Ah, sudahlah! (SHP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar