Kamis, 26 Desember 2013

Hidup Dalam Naungan Taurat Yahweh



Mazmur 1 : 1 – 6 masih memenjarakanku, nas ini hidup, saya orang Jawa, saya percaya bahwa keris dan tombak bahkan bendi (kereta kuda) bisa hidup, kalau ada roh yang tinggal di dalamnya, dan sekarang benda yang saya percaya bisa hidup bertambah satu; nas awal Kitab Mazmur ini. Saya sadar sesadar – sadarnya kalau nas ini hidup, dia seperti memanggil saya untuk membacanya kembali, sekali, dua, dan akhirnya beberapa kali. Akhirnya timbul pertanyaan di kepala apa taurat itu sebenarnya.
Saya bukan penganut agama yahudi, pengetahuan saya tentang Hukum Taurat nyaris tak ada, dan imajinasi saya tentangnya melulu mengerikan.  Tetapi saya pernah dengar dari mimbar lektor di Gereja, tentang hukum yang utama dan terutama, oh, saya yakin ini Taurat. Alasannya mudah : Yesus Kristus dan sang penanya adalah orang Yahudi. Bagi orang Yahudi yang disebut hukum, ya Taurat.
“Hukum manakah yang terutama?” Jawab Yesus : :Hukum yang terutama ialah : dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan akal budimu dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : Kasihilah sesamamu, manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” (Markus 12; 28b–32)

Versi Matius mengatakan, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya,“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah,“Kasihilah sesamamu, manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan Kitab para nabi.”
Bila inilah Taurat, maka oh betapa indahnya Taurat, betapa indahnya hukum Tuhan, maka mereka yang menyukai Taurat, yang merenungkannya siang dan malam (Mazmur 1 : 2), bukanlah orang yang hidupnya terbebani, mereka hidup dalam kebahagiaan Taurat, maka semua yang diperbuatnya berhasil (Mazmur 1 : 3b). Maka mereka yang tidak melalui jalan Taurat, lebih memilih jalan orang fasik, dan para pencemooh, sebenarnya rugi.
Pancaran keindahan Taurat tampaknya belum selesai. Saya pernah mengatakan bahwa saya pernah membaca Kitab Ulangan dengan cara membaca cepat selama 10 menit, memang tidak ada hasil, tetapi saya juga pernah membaca suatu referensi yang membahas Kitab Ulangan. Sudah lama sekali, sehingga saya sudah lupa literatur apa yang membahas Kitab Ulangan tersebut, isinya pun saya sudah lupa, dan saya malas mencari referensi itu lagi, jadi dalam rangka mengetik tulisan ini, saya pun sedikit membuka Kitab Ulangan, isinya, saya yakin mengandung unsur Taurat, di sana ada Sepuluh Perintah Allah, ungkapan kasih kepada Allah adalah perintah utama, masalah persepuluhan, peringatan untuk tidak menyembah berhala, hewan yang haram dimakan dan yang tidak, masalah penghapusan hutang, masalah hari raya – hari raya utama, dan lain – lain.
Tetapi referensi yang sudah saya lupakan itu menuntun saya untuk menemukan Ulangan 6 : 4 – 9 yang amat terkenal di kalangan para penganut agama Yahudi, lagi pula amat indah : “Dengarlah hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan, kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang – ulang kepada anak – anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambing di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Dengarlah hai Israel : Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu…”

Tampak sekali penulis Kitab Ulangan menganggap Musa melakukan penekanan pada bagian hukum itu, dan Yesus sebagai Putra Israel mampu menangkap penekanan itu. “Apa yang kuperintahkan hari ini haruslah engkau perhatikan, harus engkau mengajarkannya berulang – ulang pada anakmu, dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.
Taurat tak hanya indah, dia juga perkasa. Keperkasaannya terletak pada himbauannya agar masyarakat Yahudi menghidupinya (membicarakan ketika duduk, dalam perjalanan, berbaring atau bangun). Taurat juga menuntut agar masyarakat Yahudi menyebarkan hingga sel terkecil, yaitu keluarga (tuliskan di tiang pintu rumahmu dan pintu gerbangmu), sel terkecil masyarakat Yahudi diharapkan menghidupi Taurat, tidak hanya individu – individu. Tetapi  yang terpenting Taurat menuntuk agar diwariskan (ajatkan berulang – ulang kepada anak – anakmu). Dihidupi, disebarkan, dan diwariskan, Taurat menjadi perkasa, lestari sejak zaman Musa hingga Yesus, bahkan hingga kini, artinya sudah berumur hamper 3000 tahun. Masyarakat Yahudi pun menjadi awet; meski mengalami pembuangan ke sana sini, mereka tetap eksis hingga saat ini.
Puas dengan keterpesonaan Anda terhadap Taurat? Dengan keindahan sekaligus keperkasaannya? Cobalah melakukan Taurat, detil – detilnya mungkin dapat anda lupakan, Anda tentu tidak merayakan Hari Raya Pondok Daun, dan Anda tidak merayakan Tahun Yobel, dan banyak dari Anda penyuka daging babi dan anjing. Ambil saja intinya, kasihilah Tuhan-mu melebihi segala sesuatu, kasihilah sesamamu, manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Saya yakin Anda akan lulus dari perintah pertama, Anda ke Gereja tiap minggu pagi atau sore, aktif di pertemuan wilayah, tekun berdoa pribadi bahkan membaca Kitab Suci, bahkan melakukan devosi, bahkan melakukan laku tapa, dan entah apalagi. Anda, seperti paulus, tak bercacat.
Perintah kedua, kasihilah sesamamu, manusia seperti dirimu sendiri; Anda tidak melakukan seks bebas, karena menghargai suami atau istri di rumah, bagus. Anda dermawan, Anda ikut dalam aktivitas sosial dan lingkungan hidup, bagus. Lalu lihat karir Anda, Anda tapaki jengkal demi jengkal, dan sampailah Anda di posisi dimana Anda harus mengurusi pajak perusahaan Anda bekerja. Bila pajak suatu negara berjalan baik, lambat tapi pasti, melewati dua atau tiga generasi, Negara pasti makin baik ekonominya, makin sedikit orang yang perlu disantuni, makin sedikit pencemaran lingkungan, karena orang yang menggunakan angkutan umum makin banyak, karena berkat pajak, angkutan umum makin rapi, sarana dan teknologi pembuangan limbah juga makin baik.
Dan Anda mengakalinya, Anda mengakali sarana paling ampuh yang sanggup membuat kehidupan menjadi lebih baik, tanpa perlu tetek bengek pendampingan itu. Anda mengakali pajak, Anda gagal melaksanakan Taurat kedua, seperti orang – orang lain, termasuk saya. (SHP)

Sabtu, 21 Desember 2013

Menjadi Orang Baik, Suatu Utopia?



Kita kembali ke Mazmur 1: 1-6, tampak jelas ada pemisahan: orang fasik dan orang yang menyukai Taurat, orang baik katakanlah. Tetapi satu pertanyaan, apakah orang baik itu ada, apakah menjadi orang baik itu mungkin? Dalam Perjanjian Baru kelak akan tersingkap bahwa orang-orang baiklah yang menyalibkan Yesus Kristus. Baru-baru ini bahkan Paus Fransiscus sudah mengalamatkan, bahwa para koruptor yang mendonasikan sebagian hasil korupsinya kepada Gereja tidaklah mengurangi dosa sang koruptor, dan bila koruptor itu tertangkap Gereja tidak akan melakukan pembelaan terhadapnya.

Maka tampaklah baik dan buruk sebenarnya dalam kehidupan nyata sangat relatif. Ambil contoh lagi dalam bidang korupsi.  Sumpah mati jika Anda ingin membuka suatu usaha, entah pabrik, toko, restoran, hotel atau apapun, jika Anda tidak berusaha memberikan “gratifikasi” kepada pihak – pihak tertentu, usaha Anda tidak akan pernah berjalan. Anda pejabat daerah? Maka Anda pasti merasakan kalau tidak memberikan “gratifikasi” kepada mereka yang berkantor di Senayan anggaran untuk daerah Anda tidak akan turun, rakyat Anda nanti terlantar. (Lihat kasus Wa Ode Nurhayati)

Maka pemisahan jalan baik (Taurat) atau buruk (Fasik) menjadi tak berlaku lagi. Tuntutannya adalah jalan orang fasik atau Anda mati. Kalau hanya Anda yang mati mungkin masih enak, tapi bagaimana kalau anak istri Anda, karena usaha Anda sulit berjalan, atau kalau Anda seorang kepala daerah, rakyat Anda terlantar?


Semua orang ingin menjadi orang baik, menjadi penyuka Taurat, tetapi dengan situasi yang saya kemukakan barusan rasanya tak mungkin. Lalu apakah menjadi orang baik hanyalah sekadar impian atau bahasa kerennya utopia? Jujur saja saya akan menjawab : YA!!! Habis mau bagaimana lagi? Franz Magnis Suseno pernah menulis tentang etika Stoa, suatu cabang etika yang berkembang di masa Romawi zaman Raja Marcus Aurelius, sekitar awal Masehi.

Kekaisaran Romawi itu sedikit demi sedikit sudah mulai diisi dengan intrik politik dan korupsi; sampai nanti akan berpuncak pada pembumihangusan Roma oleh Kaisar Nero, yang menurut para sejarawan adalah kaisar yang kejam, suatu pendapat yang semestinya dikaji ulang; hingga para orang saleh Roma mulai bertindak. Alim ulama Roma masa itu macam Seneca dan Marcus Aurelius sendiri, mulai berpikir tentang bagaimana mengakhiri korupsi di Roma. Alih – alih melahirkan solusi praktis, mereka malah melahirkan suatu etika yang akan berpengaruh bagi generasi – generasi sesudah mereka yang akan amat mempengaruhi kekristenan tidak peduli di bawah Augustinus atau Thomas Aquinas. Nyanyian etika itu pada intinya berbunyi begini : menjauhi semua kebatilan, bila kebatilan makin mendekat teruslah menjauh, bila tidak ada tempat lagi, hilangkan dirimu, supaya kebatilan tidak menguasaimu. Kata terakhir banyak diartikan sebagai bunuh diri, dan memang diantara mereka banyak yang melakukan bunuh diri, salah satunya dengan alasan tak ingin menghirup udara kebatilan. Konyol memang, tapi situasi Roma kala itu sudah sarat intrik dan korupsi. Kebatilan sudah sedemikian besar, hingga tak mungkin dilawan, satu – satunya cara adalah dengan tidak terlibat dalam kebatilan itu, itulah inti nyanyian Stoa. Marcus Aurelius memang bergelar Kaisar Roma, tetapi ia lebih mirip seorang prajurit dan imam, ia bukan politisi, maka itu banyak yang memanfaatkan kelemahannya. Di balik kebesarannya, Marcus Aurelius menyimpan kelemahan fatal, tak ada solusi praktis untuk mengakhiri kebatilan di Roma.

Dengan dua perbandingan di atas, maka makin jelas bahwa menjadi orang baik, penyuka Taurat adalah utopia dari zaman ke zaman, dari zaman Raja Daud, 500 tahun sebelum Masehi, zaman Roma di bawah Marcus Aurelius, awal Masehi, hingga kini, 2000 tahun setelah Masehi. Permasalahannya adalah hendak diapakan  utopia tersebut, dibuang  begitu saja ataukah dijadikan benda esoteric, yang mengawang di langit, yang melulu di pandang sebagai keindahan. Kalau saya menjadi penyuka taurat, seperti kata pemazmur, niscaya anak istri saya akan…. Ah, sudahlah! (SHP)

Kamis, 19 Desember 2013

Aa Gym Dalam Kitab Mazmur



Masih ingat Kyai Haji Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym? So pasti masih ya. Beliau memiliki beragam kata mutiara dan nasihat, tapi dari beragam kata-katanya ada satu hal yang  membuat saya berkesan:” Rubahlah dirimu sendiri sebelum engkau ingin merubah orang lain.” Sejak dahulu hingga sekarang kata-kata itu seolah selalu baru untuk saya, tak pernah kehilangan kesaktiannya.

Suatu malam saya membuka Kitab Mazmur, saya bukanlah orang yang akrab dengan Kitab Suci, dan Kitab Mazmur pun hanya pernah selintas saya dengar. Saya mulai membaca Kitab Mazmur, yang kata guru agama saya sewaktu SD ditulis oleh Raja Daud, bab 1: 1-3.


“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasehat orang fasik,
yang tidak berdiri di jalan orang berdosa,
dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan,
dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.

Ia seperti pohon, yang ditanam di  tepi aliran air,
yang menghasilkan buahnya pada musimnya,
dan yang tidak layu daunnya,
apa saja yang diperbuatnya berhasil.”

Tampak sangat sederhana bahkan konyol, siapa yang menyukai Taurat, siapa yang merenungkan Taurat siang dan malam, siapa yang membaca Taurat? Kalau tidak konyol, syair ini naïf, lagi pula mendengar kata Taurat saja, bulu kuduk saya seperti merinding: wanita selingkuh dirajam sampai mati, tidak boleh makan daging babi dan daging burung rajawali, dsb, dsb. Singkat kata: lucu syair ini.

Syair ini seperti membelah dua kelompok manusia: kelompok baik, penyuka Hukum Taurat dan kelompok buruk, kelompok orang fasik, sungguh sangat sederhana syair ini. Dibandingkan dengan Mahabarata, Bharata Yudha atau Centhini, yang tidak mengenal polarisasi baik-buruk, syair ini jelas ketinggalan zaman, setidaknya dari segi paham. Lalu apakah syair ini ‘muspo’ (Ind: lenyap tak berguna)? Baiklah kita mencoba menjadi sederhana, menjadi anak-anak. Anak-anak sering diingatkan oleh orang tua atau gurunya, he, jangan begini, jangan begitu, kalau kamu begini nanti begini, kalau begitu nannti begitu. Si Anak setidaknya di depan orang tua atau gurunya, menurut, tanpa mengerti apakah yang dikatakan orang tua atau gurunya itu benar, atau apakah si orang tua atau guru tersebut melakukan apa yang mereka katakan sendiri.

Tak seorangpun di antara kita pernah membaca Taurat, saya pernah membacanya, selintas, di Kitab Ulangan, kira-kira selama sepuluh menit, dengan teknik membaca cepat, sebanyak satu kali, dan percayalah kepada saya, isinya itu-itu saja, yaitu yang menurut Michel Foucoult (baca: Fuko’); (sekedar) mengatur (atau mengebiri) seks.

Saya,  bukan orang alim, kalauisi Taurat bisa diringkas  sebagai kitab pengatur hawa nafsu, maka saya tidak menyukainya. Tetapi saya ingin kembali kea pa yang di katakana Aa Gym di awal tulisan saya ini: rubahlah dirimu sendiri sebelum kau ingin merubah orang lain. Di tengah hiruk pikuk dunia: kasus korupsi, kasus tawuran, sengketa agrarian, kurs rupiah yang anjlok terhadap dollar AS, dan mata uang kuat dunia lainnya, ada baiknya kita kembali ke Kitab Suci, setidaknya agar kita eling lan waspada, entah apa artinya kalimat kejawen itu, dan apakah gathuk (bisa dikaitkan dengan Kitab Suci Kristen), saya tidak tahu, tapi coba saja sedikit-sedikit membaca Kitab Suci di tengah kekacauan ini, entah apa nanti hasilnya.

Lalu Taurat? Bagaimanapun merupakan inti Kitab Suci Kristen (seperti-nya), jadi baca saja serba sedikit, seperti yang saya lakukan di Kitab Ulangan.

Minggu, 15 Desember 2013

Pujilah Allah Dalam Bait-Nya



Bersyukurlah kepadaNya dan pujilah namaNya!

Sebab Tuhan itu baik,

Kasih setiaNya untuk selama-lamaNya

Dan kesetianNya tetap turun temurun.

(Mazmur 100: 4b-5)



Versi Tawarikh-nya mengatakan:

Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia Baik!

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya
(1 Tawarikh 16:34)

Allah itu setia, bohong, saya kesulitan mendapatkan pekerjaan yang bermutu. KesetiaanNya tetap turun temurun, bohong, banyak teman saya pindah agama karena  perkawinan atau karier. Allah itu baik, ‘ngelilir’ kata orang Jawa, ‘ngelilir’ itu artinya: berbicara ketika tertidur atau mengigau.

Puja di atas sangat popular di antara para penganut agama Yahudi. Semoga ini salah: mungkin karena orang  Indonesia dan Yahudi berbeda dunia seperti alam fana dan akhirat, apa yang popular dan baik lagi merakyat di kalangan orang Yahudi seperti tak bergaung di masyarakat Indonesia, lagi pula untuk apa?! Konyol.

Sepengamatan saya masyarakat Indonesia cenderung realis. ‘Cah kuwi dino-dinone ngopo wae?’…. ‘Wis tontonen dhewe kono’… ‘Anak itu sehari-harinya ngapain saja? Apa yang dilakukannya?’…’Silahkan Bapak lihat sendiri’…. ‘Berapa lama Anda menempuh perjalanan rumah kantor tiap harinya?’…. ‘ Dua jam, pulang pergi empat jam’…’Itu tidak efisien.’….’Wah Pak, kalo di sini mikir efisien, bisa nggak jalan-jalan, anak istri bisa kagak makan.’ Begitulah penggambaran orang Indonesia.


Bagaimana dengan orang Yahudi? Yesus, Paulus, Para Rasul seperti terserap oleh Taurat Musa. Sedang para Nabi Perjanjian Lama seperti terpukau oleh keberadaan Yahweh. Tampaklah mereka bangsa yang idealis. Bukankah orang Jawa memiliki Suluk? Ya, tetapi tampaknya yang terjadi berkebalikan, Suluk adalah cermin orang Jawa. Maka tak heran, dalam Suluk macam Centhini atau cerita-cerita wayang sering kita tak menjumpai yang disebut tokoh baik atau pun tokoh jahat.

Jawa, Indonesia, yang realis bahkan cenderung pragmatis, disandingkan dengan orang Yahudi  yang  idealis, rasanya seperti  tak memiliki kaitan apapun. Pantas saja Mazmur 100: 4b – 5 nyaris tak bergaung di masyarakat Jawa-Indonesia-Kristen atau masyarakat Indonesia-Kristen.

Mengapa teks itu harus disebarkan atau mengapa ribut dengan teks itu? Sudah terlalu banyak teks doa untuk masyarakat Indonesia-Kristen. Entahlah, saya menyukai teks itu begitu saja. Jawa-Katholik sering menyanyikannya dalam lagu-lagu antar bacaan atau pengantar Injil, tapi kelihatannya tak perduli apapun dengan teks itu. Mereka seperti menyanyi tanpa membaca syair.

Rabu, 11 Desember 2013

Berhenti Sejenak






Jika aku melihat langitMu, buatan jarimu
Bulan dan bitang-bintang yang kau tempatkan:
Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

 
Apakah yang pertama kali terlintas bila kita membaca nukilan Mazmur 8 tersebut, nukilan ini persisnya Mazmur 8: 4 – 5. Suatu keindahan, pujian, kemegahan, bahkan kedahsyatan. Tapi bila kita mau memberi konteks pada masa kini, serentak kita akan tersenyum. Apakah manusia masa kini masih mampu melahirkan ungkapan sedahsyat itu?


Orang saat ini sudah sedemikian sibuk, sudah tidak sempat melihat langit di waktu malam. Sewaktu saya masih di bangku SLTA, di sebuah SLTA swasta di Jakarta Selatan, saya suka mendaki gunung dan tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah. Tidak banyak yang saya ingat dari pengalaman mendaki gunung kala itu. Yang saya ingat hanya dingin dan lelah, hanya itu berkait dengan Mazmur 8 : 4-5 tersebut; dari kaki gunung yang saya lewati langit memang terasa lebih pendek. Tetapi apakah ketika melihat langit yang seolah memendek itu, saya lalu melahirkan Mazmur? Seingat saya semua berlalu begitu saja hingga saya berusia 37 tahun ini.

Penulis Mazmur itu, taruhlah dia Raja Daud, hampir dipastikan tak pernah berada di ketinggian lebih dari 1500 meter di atas permukaan laut, sedang saya sudah 2 – 3 kali mengalaminya, tapi pe-Mazmur mampu melahirkan Mazmur yang dahsyat, sedang saya lanjut tidur. Mungkin Anda tidak tidur, tetapi pada kenyataannya, dalam khazanah kesusastraan saya yang terbatas, saya tidak menemukan syair seperti Mazmur 8: 4-5 tersebut, yang saya maksud kualitasnya, syair ini menggabungkan keterpesonaan akan kedahsyatan alam, sekaligus iman akan keberadaan Pencipta Alam itu. Syair-syair pemujaan terhadap alam yang timbul setelah masa Renaissance, sudah secara tak sadar memuja alam an sich, meski para penulis itu mayoritas ya beragama Kristen atau Yahudi; tetapi pengaruh  Renaissance sudah sangat merasuk ke jiwa mereka, sehingga keberadaan Pencipta Alam sudah tak terdeteksi lagi dalam syair-syair mereka.

Lalu apa sebab pe-Mazmur mampu melahirkan karya sedahsyat itu? Saya yakin hanya satu jawabnya: berhenti sejenak, Pe-Mazmur mau berhenti sejenak. Para penyair paska Renaissance itu, bukankah mereka juga berhenti sejenak dan membuat syair? Ya, entahlah, tapi saya yakin hanya iitu jawabannya: mau berhenti sejenak.

Gilasan roda kapitalisme, dan tantangan ilmu pengetahuan modern sungguh mengerikan, kalau Anda tidak berhenti sejenak, Anda akan diamkan oleh pasangan jantan-betina yang telah ada sejak tahun 1500-an tersebut. Anda kan dipaksa membeli smartphone yang berharga di atas dua juta rupiah, dan hanya mempergunaknnya untuk bercakap-cakap dengan teman Anda, bagi saya itu sungguh mengerikan.

Berhentilah sejenak, mungkin dengan sejenak berdoa, sejenak ebrbincang dengan anak-istri Anda di luar masalah formil, menyapa teman kantor atau teman lama Anda, saya percaya kualitas doa dan pujian Anda akan membaik. “Kerajaan Tuhan di antara kamu”, artinya Anda harus ikut serta mengusahakannya. (SHP)